Beranda | Artikel
Kesehatan Mental: Mengasah Rasa untuk Bahagia
5 hari lalu

Hidup bahagia adalah keinginan yang didambakan setiap orang. Namun, sering kali kita lupa bahwa kebahagiaan bukanlah sesuatu yang dapat kita capai secara instan atau tanpa usaha. Mengasah rasa untuk hidup bahagia adalah sebuah proses yang melibatkan kesadaran diri, pengembangan emosi positif, dan adopsi pola pikir yang mendukung.

Kehidupan kita di dunia yang singkat dan sementara ini, jangan sampai dirusak oleh hal-hal yang bisa menghilangkan kebahagian tersebut, seperti berkeluh kesah, terlalu larut dalam kesedihan, cemas terhadap sesuatu yang belum terjadi, atau malah kehidupan ini diisi dengan dosa dan maksiat.

Kebahagiaan merupakan salah satu bentuk surga dunia, karena surga dunia itu meliputi ketenangan hati dan kedamaian jiwa dengan mengingat Allah Ta’ala. Siapa saja yang gagal meraih surga dunia, maka ia bisa gagal untuk menggapai surga akhirat. Hal ini sebagaimana perkataan Syekh Islam rahimahullah,

إن في الدنيا جنة، من لم يدخلها لا يدخل جنة الآخرة

“Sesungguhnya di dunia ini terdapat surga, barangsiapa yang tidak memasukinya, maka ia tidak akan memasuki surga akhirat.“ (Lihat Al-Mustadrak ‘ala Majmu’ Al-Fatawa, 1: 153)

Oleh karenanya, surga dunia ini menjadi jalan menuju kebahagiaan abadi di akhirat, di mana manusia akan merasakan kebahagiaan yang lebih sempurna di surga yang sesungguhnya. Memahami bahwa dunia ini hanya sementara tidak seharusnya membuat kita kehilangan semangat untuk hidup bahagia. Justru, kesadaran bahwa hidup ini sementara dapat memotivasi kita untuk hidup dengan penuh makna.

Langkah untuk mengasah rasa agar hidup lebih bahagia

Agar kita dapat meraih kebahagiaan di kehidupan dunia yang sementara ini, berikut adalah beberapa langkah untuk mengasah rasa agar hidup lebih bahagia:

Pertama, menjalankan aturan Allah

Agar kita dapat hidup bahagia, maka kita harus menjalankan aturan Allah. Hal ini karena ketika Allah menciptakan manusia juga dibarengi dengan masalah dan ujian yang meliputinya.

Allah Ta’ala berfirman,

لَقَدْ خَلَقْنَا ٱلْإِنسَٰنَ فِى كَبَدٍ

“Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia berada dalam susah payah.” (QS. Al-Balad: 4)

Dalam ayat yang lain,

وَلَنَبْلُوَنَّكُم بِشَىْءٍ مِّنَ ٱلْخَوْفِ وَٱلْجُوعِ وَنَقْصٍ مِّنَ ٱلْأَمْوَٰلِ وَٱلْأَنفُسِ وَٱلثَّمَرَٰتِ ۗ وَبَشِّرِ ٱلصَّٰبِرِينَ

“Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepada kalian, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan. Dan sampaikanlah kabar gembira kepada orang-orang yang sabar.” (QS. Al-Baqarah: 155)

أَحَسِبَ ٱلنَّاسُ أَن يُتْرَكُوٓا۟ أَن يَقُولُوٓا۟ ءَامَنَّا وَهُمْ لَا يُفْتَنُونَ

“Apakah manusia mengira bahwa mereka akan dibiarkan hanya dengan mengatakan, ‘Kami telah beriman,’ sedang mereka tidak diuji?” (QS. Al-Ankabut: 2)

Dari ayat-ayat di atas, dapat kita ketahui bahwa setiap hari bahkan setiap saat manusia dihadapkan pada masalah. Ada masalah yang dihadapi dalam dirinya sendiri dan ada masalah yang bersangkutan dengan orang lain, terutama orang-orang terdekat (keluarga, tetangga, dan teman).

Karena banyaknya masalah yang akan dihadapi oleh hamba-Nya, maka Allah Ta’ala memberikan bimbingan dan pertolongan untuk menghadapi masalah tersebut berupa aturan dan panduan hidup yang apabila dijalankan, maka seseorang akan bisa menghadapi masalah-masalah tersebut.

Allah Ta’ala berfirman,

وَمَن يَتَّقِ اللَّـهَ يَجْعَل لَّهُ مَخْرَجًا وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لَا يَحْتَسِبُ ۚ وَمَن يَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّـهِ فَهُوَ حَسْبُهُ ۚ إِنَّ اللَّـهَ بَالِغُ أَمْرِهِ ۚ قَدْ جَعَلَ اللَّـهُ لِكُلِّ شَيْءٍ قَدْرًا

“Barangsiapa bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar. Dan memberikan rezeki kepadanya dari arah yang tidak disangka-sangkanya. Dan barangsiapa yang bertawakal kepada Allah, niscaya Allah akan mencukupkan (keperluannya). Sungguh, Allah telah mengatur urusan-Nya. Sungguh, Allah mengadakan ketentuan bagi tiap-tiap sesuatu.” (QS. At-Talaq: 2-3)

Sebaliknya dalam ayat yang lain, Allah Ta’ala memperingatkan jika tidak mengikuti aturan dan perintah-Nya, akan dijadikan hidupnya jauh dari kebahagiaan,

وَمَنْ أَعْرَضَ عَن ذِكْرِى فَإِنَّ لَهُۥ مَعِيشَةً ضَنكًا

“Dan barangsiapa yang berpaling dari peringatan-Ku, maka sungguh, dia akan menjalani kehidupan yang sempit.” (QS. Thaha: 124)

Lalu, bagaimana cara agar kita dapat menjalankan aturan Allah? Pertama kali yang kita lakukan adalah dengan mempelajari aturan tersebut. Kemudian laksanakan aturan itu secara bertahap. Menjalankan aturan Allah berarti hidup dengan mengikuti hukum-hukum yang telah ditetapkan oleh-Nya. Aturan tersebut mencakup seluruh aspek kehidupan, baik itu ibadah, muamalah (hubungan sosial), adab, dan akhlak. Aturan Allah yang termaktub dalam Al-Qur’an dan hadis bukan sekadar kumpulan perintah dan larangan, melainkan pedoman hidup yang menyeluruh untuk membimbing manusia menuju kehidupan yang seimbang, penuh berkah, dan bahagia.

Kedua, menerima takdir Allah

Salah satu kunci kebahagiaan adalah menerima bahwa segala sesuatu di dunia ini bersifat sementara. Tidak ada yang abadi di dunia yang sementara ini termasuk kesedihan dan kebahagiaan. Baik kebahagiaan maupun penderitaan akan datang dan pergi. Dengan menerima takdir ini, kita dapat melepaskan diri dari ketergantungan pada hal-hal duniawi dan belajar untuk lebih menghargai setiap yang kita miliki. Ketika kita sadar bahwa segalanya bisa berubah atas takdir dan kehendak-Nya, kita akan lebih bersyukur untuk menikmati setiap apa yang kita punya, tanpa terikat pada rasa takut akan kehilangan. Karena semua adalah milik Allah dan akan kembali kepada-Nya, termasuk diri kita.

Allah Ta’ala berfirman,

الَّذِينَ إِذَا أَصَابَتْهُم مُّصِيبَةٌ قَالُوا إِنَّا لِلَّـهِ وَإِنَّا إِلَيْهِ رَاجِعُونَ

“Yaitu, orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan, ‘Innalillahi wainna ilaihi raji’un (sesungguhnya kami itu milik Allah dan sesungguhnya kami akan kembali kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala).’” (QS. Al-Baqarah: 156)

Oleh karenanya, kita juga diajarkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam ketika kita ditimpa masalah, ujian atau musibah, untuk mengucapkan,

قَـدَرُ اللهِ وَمَا شَاءَ فَعَلَ

“Qadarullah wa ma sya’a fa’ala (hal ini telah ditakdirkan Allah dan Allah berbuat apa saja yang dikehendaki-Nya).” (HR. Muslim)

Menerima kenyataan bahwa tidak ada yang abadi di dunia ini, dapat membantu kita menjalani hidup dengan lebih tenang dan bahagia. Penting untuk menerima takdir dan kenyataan bahwa setiap keadaan, baik suka maupun duka adalah bagian dari perjalanan hidup. Meskipun kita harus menerima takdir, bukan berarti kita harus pasrah tanpa berusaha. Tetaplah ciptakan harapan untuk masa depan. Berdoa dan berusaha untuk mencapai tujuan sembari menerima apa pun yang Allah takdirkan.

Allah Ta’ala berfirman,

إِنَّ ٱللَّهَ لَا يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتَّىٰ يُغَيِّرُوا۟ مَا بِأَنفُسِهِمْ ۗ

“Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum, hingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri.” (QS. Ar-Ra’d: 11)

Ujian itu sesuai batasan kemampuan manusia

Islam mengajarkan bahwa di balik setiap ujian dan masalah yang dihadapi manusia, selalu ada jalan keluar yang Allah sediakan. Tidak ada ujian yang terlalu berat jika dihadapi dengan keimanan dan tawakal kepada-Nya. Allah juga tidak membebani seseorang di luar batas kemampuannya. Setiap masalah yang dihadapi adalah sesuai dengan kapasitas yang telah Allah berikan kepadanya.

Dalam Al-Qur’an, Allah Ta’ala berjanji,

فَإِنَّ مَعَ الْعُسْرِ يُسْرًا , إِنَّ مَعَ الْعُسْرِ يُسْرًا

“Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan, sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan.” (QS. Al-Insyirah: 5-6)

Dalam firman-Nya yang lain,

لَا يُكَلِّفُ ٱللَّهُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا

“Allah tidak membebani seseorang, melainkan sesuai dengan kesanggupannya.” (QS. Al-Baqarah: 286)

Pada akhirnya, kebahagiaan tidak terletak pada seberapa lama kita hidup, tetapi seberapa baik kita mengisi waktu dengan menaati aturan Allah dan menerima segala yang telah Allah takdirkan kepada kita.

***

Penulis: Arif Muhammad N.


Artikel asli: https://muslim.or.id/98421-kesehatan-mental-mengasah-rasa-untuk-bahagia.html